Card to Post – Romantisme Kartu Pos di Dunia Jejaring


Dimuat di Papernoise edisi #3
 “I'll send you postcards every single day, Just to prove I still exist”

Kutipan di atas berasal dari lirik lagu ‘Postcards from a Young Man’ yang dipopulerkan Manic Street Preachers, sebuah band alternative rock dari Cardiff, Wales. Lagu itu –berasal dari album dengan judul yang sama— mewakili poin penting dari proses bertukar pesan. Agaknya tak berlebihan juga, jika kutipan itu dilekatkan bersama sebuah project bertajuk ‘Card to Post’.

Rizki Ramadhan, dibantu oleh Putri Fitria dan Ardea Rhema Sikhar yang berinisiatif membuat project sederhana, lucu, intim sekaligus romantik tersebut. Rizki, jurnalis untuk sebuah majalah, juga aktif nge-blog di: memangterlalu.blogspot.com. Putri, penulis lepas, sekarang bekerja sebagai peneliti di salah satu kedutaan asing di Indonesia. Dea, penulis yang mungkin akan lebih akrab jika menyebut situsnya: salamatahari.com. Saya bertemu dengan mereka pada sebuah workshop di ruangrupa, beberapa bulan silam.

Tak banyak kabar yang kami bagi setelahnya, kecuali beberapa kesempatan bertukar hal-hal menyenangkan dengan salah seorang dari mereka. Beberapa bulan setelahnya, sebuah pesan masuk di blackberry messenger mengajak untuk ikut project Card to Post. Saya menghabiskan waktu untuk beberapa saat di blog mereka, memahami maksud project ini, mengenalnya lebih dekat dan akhirnya memutuskan untuk ikut.


Romantisme dengan Kartu Pos, Bermain-main di Dunia Digital

Card to Post (dalam kata pengantar di blog-nya), mengajak siapapun untuk menghidupkan kembali budaya berkirim kartu pos. Seiring dengan perkembangan media sosial dan internet, kartu pos nyaris dilupakan sebagai alat penyampai pesan. Tapi ada hal-hal yang tak bisa tergantikan dari selembar kartu pos. Terlebih jika kartu pos tersebut merupakan hasil kreasi sendiri.

Foto, sketsa, kolase atau gambar hasil olah digital, merupakan beberapa bentuk yang bisa dikreasikan untuk membuat kartu pos. Atau mungkin bagi yang suka mengolah kata, membuat prosa atau puisi, kartu pos bisa jadi medium yang baik. Card to Post, menganjurkan para pesertanya untuk membuat sendiri kartu pos mereka.

Kartu pos hasil kreasi sendiri, akan terasa lebih puitik, intim, romantis bahkan personal ketika diterima oleh seseorang. Hal yang sama juga terjadi pada saat-saat mengirimkan, menunggu dan menerima kartu pos. Belum lagi jika,melihat beberapa penanda penting di sebuah kartu pos, semisal perangko atau stempel pos. Untuk itu semua kartu berbentuk persegi panjang tersebut, bisa menjadi memorabilla, penanda momen-momen tertentu. Semisal ketika sedang melakukan perjalanan, lalu mengirimkan kartu pos dari kota-kota yang disinggahi kepada teman-teman tertentu. Atau ucapan selebrasi hari-hari spesial lewat kartu pos. Bahkan bertukar cerita keseharian dengan kartu pos, tak kurang juga nilai memorabilia-nya.

Pertanyaan yang mungkin saja terlintas ketika melihat project ini: apa pentingnya bertukar pesan dari selembar kartu pos, di tengah kemajuan teknologi dan informasi pada hari ini? Internet memungkinkan kita untuk bertatap muka via video call. Bahkan semua orang mendadak ‘penting’ dengan berbagi kabar di Twitter atau Facebook. Lewat internet orang bisa menginformasikan lokasi keberadaannya dengan Foursquare atau Koprol. Bahkan, orang bisa tahu lagu-lagu yang sedang kita dengarkan, lewat layanan 8track, Soundcloud atau Last fm.

Mari bersepakat untuk tidak terjebak pada perbandingan antara sosial media, email, layanan chatting dengan selembar kartu pos. Dari Shakespeare hingga Pramoedya Ananta Toer sudah mengingatkan kita untuk hal-hal seperti ini: ‘What's in a name?’ atau “Nama berganti seribu kali dalam sehari, makna tetap.” Kesemuanya sedang bermain-main pada hakikat yang sama: bertukar pesan.

Ketika mencoba membandingkan hal-hal di atas, kita justru akan melihat letak menarik dari project Card to Post. Para pegiat project ini beromantisme dengan masa lampau, sambil tetap bermain-main di dunia jejaring (internet). Melalui blog-nya (sebentar lagi akan menjadi website), mereka berusaha membuat project tukar-menukar kartu pos ini menjadi interaktif. Project ini sedang mengajak masa lampau dan masa kini berjalan beriring.

Card to Post membuka kesempatan kepada siapa saja untuk mendaftarkan diri. Yang sudah terdaftar, bisa memilih anggota lainnya yang akan dikirimi kartu pos. Tak sampai disitu, para anggotanya juga dipersilakan untuk memajang gambar dan memberikan komentar terkait kartu pos yang mereka terima. Dengan pola interaktif seperti itu, Card to Post sedang mengajak beromantisme namun tidak meninggalkan pola-pola interaksi kekinian.

Para pegiatnya paham betul bahwa proyek ini akan menjadi nihil, tanpa interaksi yang mengabdi pada perkembangan zaman. Tak hanya lewat blog, mereka juga aktif berinteraksi lewat twitter. Akun twitter @cardtopost, terlihat aktif berbagi informasi, menjawab pertanyaan dan memamerkan kartu-kartu pos yang diterima oleh anggotanya.

Proses bertukar pesan apapun mediumnya, telah menjadi kebutuhan manusia. Jika ada urusan terbesar manusia di muka bumi, boleh jadi itu adalah urusan ‘menjadi ada’. Pengakuan atas keberadaan individu, itulah yang saya maksud ‘menjadi ada’. Untuk semua pesan yang kita bagikan, semuanya merujuk pada keinginan dan pembuktian bahwa kita benar-benar ada. Maka senandungkan-lah sekali lagi lagu Manic Street Preachers di awal tulisan ini. “I'll send you postcards every single day, Just to prove I still exist."

*Muammar Fikrie. Lahir di Palu, Tinggal dan Makan di Jakarta.






















POSTED BY cardtopost
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply

Powered by Blogger.