Pak Pos, Adakah Selembar Intimasi Untukku Hari Ini ?


Waktu Putri menghubungi saya beberapa waktu lalu dan cerita tentang project card to post-nya ini bersama Dea, Risky dan kawan-kawan,  saya jadi berpikir kapan terakhir kali menerima kartu pos atau surat. Maksudnya, kartu pos yang ditujukan pada saya secara personal, bukan atas nama lembaga dan buat kantor saya.
Rasanya itu sudah lama sekali. Kalau diingat-ingat, terakhir kali dapat kartu pos adalah kiriman dari Haruko Endo (sekarang Haruko Nagai setelah nikah), sahabat saya yang orang Jepang, sekitar tahun 2002, ketika dia lagi jalan-jalan ke Perancis. Hampir sepuluh tahun yang lalu.  Kartu pos itu juga masih saya simpan di rumah Jakarta.


Padahal dulu saya termasuk giat berkirim surat, dan gemar sekali dengan benda pos. Paling gemes kalau lihat kartu pos lucu, pasti dibeli walau belum tahu mau dikirim kemana. Dulu waktu SD juga koleksi kertas surat (yang kemudian banyak dibagi-bagikan ke teman-teman), serta koleksi yang masih dijaga serta dibanggakan hingga sekarang, yaitu koleksi prangko.

Tapi masa-masa itu memang sudah lewat, setidaknya untuk saya. Sejak lebih dari satu dekade ini, sepertinya semuanya beralih ke elektronik, via email, dimana kadang-kadang aku masih membuat sendiri kartu ucapan dalam bentuk e-card. Lalu ada Yahoo! messenger, lalu kemudian ada Friendster, lalu ada Facebook, dan sekarang Twitter, Skype dan sebagainya. PDKT nulis-nulis gombal-gombalan sama gebetan sampai dengan yang jadi suami sekarang pun banyak via internet, terlepas dari handphone tentunya.
Semua begitu mudah sekarang, pesan dijamin sampai tanpa perlu takut hilang di tengah jalan, langsung terkirim saat itu juga, terekam pula, bisa attach file seperti lagu dan gambar, bisa dicari lagi kapan saja (saya masih menyimpan 'arsip' surat-suratan via email dan facebook dengan suami sejak pacaranJ). Harus saya akui, seperti banyak orang lain di hari gini, saya menikmati sekali adanya internet. Pekerjaan dan kehidupan personal saya sangat didukung oleh internet. Bahkan saya hampir tidak pernah lagi menulis tangan kecuali untuk formulir urusan administratif.

Bagaimana pun, kadang, saya merasa dengan begitu banyak kemudahan itu kita jadi take for granted ya dengan komunikasi. ...Ah, kan nanti tinggal email saja“, ...Ah, nanti juga saya balas.“ ...Ah nanti, nanti, nanti.“ Tidak seperti sepucuk surat atau selembar kartu pos yang membuat kita berdebar menerimanya dan kita simpan sebagai benda yang istimewa, dan terlebih lagi – membuat kita merasa istimewa. Setidaknya begitu yang saya rasakan dulu. Ada intimasi, sesuatu yang bisa disentuh, tidak butuh listrik untuk melihatnya, dan ketika disimpan dan ditemukan lagi, ia menjadi semacam artefak atau memorabilia yang menandai momen-momen berkesan, dimana hidup seolah tak bermakna tanpanya.

Ya, memang, setergila-gilanya saya dengan teknologi dan dunia virtual, sampai sejauh ini saya masih termasuk yang beranggapan kalau yang fisik itu tetap yang lebih berarti. Minimal, lebih romantis lah. J 
Saya tertarik ikut di project Card To Post ini sedikit banyak untuk mengingatkan saya sendiri akan romantisme seperti itu, atau tepatnya: akan hal-hal intim sederhana tapi menyenangkan, yang banyak dari kita mungkin sudah terlalu sibuk, terlalu canggih, terlalu berjarak dengan segala hal untuk melakukannya. Seperti, menyapa dengan selembar kartu pos.

Dan kalau saya ingat-ingat lagi, bahkan dulu saya tidak membalas kartu pos dari Haruko itu dengan hal yang sama, tapi saya malah mengemailnya untuk mengucapkan terima kasih. Beberapa lama setelah itu, kami sempat hilang kontak karena saling mengganti alamat email dan berpindah tempat tinggal. Sampai ketemu Haruko lagi di facebook dan sempat berjumpa ketika saya ke Jepang tahun lalu, reuni yang sangat berkesan dan kami tetap kontak lagi sampai sekarang.

Makanya, kartu pos pertama saya untuk Card To Post saya dedikasikan untuk Haruko-san. Habis itu, hmmm… siapa lagi ya? Rasanya jadi ingin mengirim ke semua orang.
Ada yang mau mengirim kartu pos buat saya? Saya tunggu. :)

Farah Wardani,
Yogyakarta, Desember 2011
============================================================
Selain aktif ngurusin Indonesian Visual Art Archive (IVAA) sebagai Direktur Eksekutif, mbak Farah Wardani juga rajin menulis soal seni dan manjadi kurator. Dia juga doyan mengoleksi benda-benda pos.. (.Red)

POSTED BY cardtopost
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply

Powered by Blogger.